[Cerpen] : Hujan Kita


Apa definisi bahagia menurutmu? Apa kamu pernah berpikir bahwa kita perlu menghilangkan sedikit kebahagiaan? Bukan, bukan berarti tidak bersyukur. Hanya sekadar menghilangkan rasa bahagia demi menjaga kestabilan perasaan.

“Kamu suka hujan?".  Aku menoleh, lalu mendapati seorang laki laki sedang tersenyum ke arahku.

“Kamu tanya saya?” ucapku memastikan. Yah, walaupun bangku di pesawat ini hanya muat dua orang.

Dia terkekeh. “Saya tanya kamu. Memang siapa lagi?” Aku tersenyum tipis menanggapi.

“Tadi kamu tanya apa? Hujan?” ulangku sambil menatap ke arah jendela pesawat. Di luar memang sedang hujan.

“Iya. Kamu suka hujan?” ulangnya.

“Suka. Kenapa dengan hujan?” tanyaku balik.

“Saya punya banyak kenangan tentang hujan, saya selalu merasakan hal yang berbeda ketika hujan turun,” jawabnya. “Apa yang kamu suka dari hujan?”

“Hujan itu menenangkan. Hujan juga mengajarkan saya untuk bersyukur, menurut saya kebanyakan orang di dunia selalu menunggu hujan. Kecuali hujan yang merugikan,” jawabku.

Dia mengangguk mendengar jawabanku, “kamu sama seperti ibu saya, ibu saya bilang bersyukurlah saat hujan turun.”

Aku terkekeh mendengar penuturannya. “Orang tua mana yang tidak mengajarkan anaknya untuk bersyukur?”

“Tapi ibu saya juga meninggal saat hujan. Sejak itu saya kehilangan arti bersyukur saat hujan,” ucapnya lirih.

“Oh, maaf,” ucapku tak kalah lirih.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Dua tahun sudah terlewati, saya sudah ikhlas,” ucapnya lagi
Aku menatapnya tenang, “Ehm, ngomong ngomong nama saya Dena.”

“Ah ya, kita lupa berkenalan. Saya Kenan.”

Aku tersenyum, menatap jendela yang basah terkena air hujan. Aku harap kita bisa bersama, Pangeran Hujan.

**
“Kamu tahu, bagian terbaik dari hidup?” tanya Kenan sambil menatap langit biru yang membentang luas diatas kami.

Ya, Kenan. Laki-laki yang beberapa bulan lalu kutemui di bangku pesawat nomor 45. Dan tanpa disangka, kami tinggal di kabupaten yang sama.

“Bagian terbaik dari hidup? Saat kita membuat orang lain bahagia?” jawabku dengan ragu, aku menoleh ketika mendapati Kenan sedang menatapku.

“Kenapa ragu? Jawab saja, bukankah pandangan setiap orang tentang hidup itu berbeda?” tanyanya retorik.

“Memang iya. Menurut saya, bagian terbaik dari hidup adalah saat kita benar benar telah menemukan definisi hidup,” jawabku pasti

“Definisi hidup? Masih tetap ada? Masih bergerak, bernafas?” tanyanya beruntun

“Kamu kritis.” Aku tersenyum, “menurut kamu apa bagian terbaik dari hidup?”

“Saat kita berada pada titik paling lemah dalam hidup ini,” ucapnya dalam satu tarikan nafas. Beberapa detik dia terdiam.

“Kenapa begitu?”

“Coba kamu pikirkan, saat kamu berada pada titik paling lemah, apa yang akan kamu lakukan? Bukankah kamu akan menambah kualitas dan kuantitas ibadah, usaha dan selalu berdoa agar Tuhan menaikkan derajatmu. Bukankah begitu?”

Aku mengangguk, mulai memahami maksudnya.

“Dan pada saat itu, kamu juga tahu siapa orang yang benar-benar tulus, siapa yang munafik. Pikirkanlah, titik paling lemah dari hidup justru membawa perubahan ke arah yang lebih baik,” lanjutnya

“Perubahan yang lebih baik? Tapi setelah derajat mereka naik, kebanyakan dari mereka mudah terlena,” ungkapku

“Itulah sifat manusia. Mudah terlena ketika sudah menemukan apa yang mereka inginkan.” Kenan mengarahkan pandangannya ke atas ketika setitik air menghampiri kami.

“Hujan. Ayo berteduh.” Aku menuruti ajakannya, beberapa orang yang ada di taman ini pun ikut berteduh di sebuah gardu yang ada di tengah taman.

Aku tersenyum menatap rintik air yang turun. Hujan mengingatkanku pada pertemuan pertama kami.

“Hujannya menenangkan, ya,” ucapku di sela-sela rintik yang berdentang.
Dia tetap bergeming, tidak menanggapi ucapanku. Satu menit terlewati sudah. Aku menoleh ke arahnya, dan betapa terkejutnya ketika menemukan wajahnya yang tampak pias.

“Astaga Kenan! Kamu sakit?” tanyaku histeris

“Tidak apa-apa. Hanya dingin,” ucapnya pelan dan terbata. Aku bingung harus melakukan apa, membawanya pergi jelas tidak mungkin. Membiarkannya saja akan membuatnya semakin tersiksa.

“D-de-na,” Aku terkejut mendengar suaranya yang terdengar parau dan lemah. Dua detik kemudian dia ambruk.

“KENAN!” teriakku kencang.

**

Aku meraba batu nisan yang basah dihadapanku. Aroma petrichor mengingatkanku pada seseorang yang dua jam lalu meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Kenan meninggal. Dokter bilang serangan jantung, aku tidak tahu kalau dia memiliki jantung yang lemah, genetik dari ibunya.

Sama seperti ibunya, dia juga meninggal saat hujan turun. Membuatku merasakan hal yang pernah dialaminya beberapa tahun lalu. Kehilangan arti bersyukur saat hujan.

Air mataku mengalir deras. Sederas hujan yang mempertemukanku dengan Kenan, juga sederas hujan yang mengantarkan Kenan pada ajalnya.

Kenan, aku janji. Aku akan selalu mengingat hujan kita, kenangan kita.


Brebes, 7 Juni 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[ Puisi ] : Setelah Kamu Pergi

[ Ulasan ] : Kubah - Ahmad Tohari

[ Puisi ] : Di Suatu Hari di Sebuah Toko Buku