[Cerpen] : A Letter

Satu tetes dua tetes air mata mulai membasahi kertas putih yang baru sedikit terisi itu. Tangan Bita menggenggam erat bolpoin birunya, tetap mencoba menggoreskan kata demi kata di atas lembaran putih itu. Meskipun malam semakin larut, dan hujan makin menderas.

‘Ma, Pa... apa kabar kalian? Semoga kalian baik-baik saja. Di surat ini, aku ingin sedikit menumpahkan kegundahan hatiku. Ehm, surat. Meskipun aku bisa mengirimnya melalu e-mail atau pun menelpon kalian, tapi entah kenapa aku ingin menulis surat.

Ma, Pa... kalian tahu? Kehidupanku di perantauan ini sungguh berbeda dengan kehidupanku di tempat kalian melahirkan dan membesarkanku dulu. Di sini, aku bingung... dengan keadaan sekitarku. Aku bingung... apakah aku yang kurang bisa beradaptasi, atau kah mereka yang terlalu apatis terhadapku.

Ma, Pa... di sini aku selalu merasa tersisihkan. Semua orang seakan melihatku dengan mata kiri mereka, bahkan kadang mereka tidak melihatku sama sekali. Aku berulang kali menganggap ini hanya lah proses adaptasi, tapi nyatanya keadaan ini berlangsung sampai saat ini. Aku... tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Ma,Pa... apa aku terlalu rancu untuk bergabung dengan mereka? Apa perbedaanku terlalu jauh dengan mereka? Bukankah aku manusia biasa yang terus menerus melakukan kesalahan? Apakah duniaku terlalu jauh dengan mereka?

Ma, Pa... ada satu hal lagi yang aku gundahkan dan ingin aku tanyakan. Mengapa manusia terlalu terobsesi dengan hasil? Aku melihat sekelilingku, mereka tampak tidak memikirkan proses apa yang mereka jalani, yang peting hasilnya memuaskan bagi mereka.

Ma, Pa... terkadang aku merasa rendah diri ketika mereka mendapat hasil yang begitu memuaskan ( meskipun melalui proses yang tidak semestinya ), walau aku tahu hasil yang mereka dapat tidak akan bertahan lama.

Ma, Pa... itu semua selalu mengganjal di hati dan benakku, aku masih punya milyaran pertanyaan tentang hidup yang belum terjawab. Terima kasih, Ma, Pa, sudah mau membaca sedikit kesahku. Semoga kalian selalu baik-baik saja Di sini aku selalu mendoakan kalian.’

Kertas yang ada digenggamannya kini sudah separuhnya basah. Bita menengkulupkan kepalanya di atas meja sembari memeluk erat kertas yang baru ditulisnya itu. Hidup. Bita masih bingung dengan definisi hidup yang sebenarnya. Apalagi, saat ini, saat semesta terus menerus memberinya kejutan.

Brebes, 9 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[ Puisi ] : Setelah Kamu Pergi

[ Ulasan ] : Kubah - Ahmad Tohari

[ Puisi ] : Di Suatu Hari di Sebuah Toko Buku